Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu
Dalam Sandi Sastra
Ha –
Huripku Cahyaning Allah
Na –
Nur Hurip cahya wewayangan
Ca –
Cipta rasa karsa kwasa
Ra –
Rasa kwasa tetunggaling pangreh
Ka –
Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat
Da
– Dumadi kang kinarti
Ta
– Tetep jumeneng ing dat kang tanpa niat
Sa
– Sipat hana kang tanpa wiwit
Wa –
Wujud hana tan kena kinira
La
– Lali eling wewatesane
Pa –
Papan kang tanpa kiblat
Dha – Dhuwur wekasane
endhek wiwitane
Ja
– Jumbuhing kawula lan Gusti
Ya
– Yen rumangsa tanpa karsa
Nya – Nyata tanpa
mata ngerti tanpa diwuruki
Ma –
Mati bisa bali
Ga –
Guru Sejati kang muruki
Ba –
Bayu Sejati kang andalani
Tha – Thukul saka
niat
Nga – Ngracut
busananing manungsa
Sastra Jendra ya sastra harjendra
adalah sastra/ilmu yang bersifat rahasia/gaib. Rahasia, karena pada mulanya
hanya diwedarkan hanya kepada orang-orang yang terpilih dan kalangan yang terbatas
secara lisan. Gaib, karena ilmu ini diajarkan oleh Guru Sejati lewat Rasa
Sejati. Hayuningrat/yuningrat berasal dari kata hayu/rahayu – selamat dan
ing rat yang berarti didunia. Pangruwating Diyu, artinya meruwat,
meluluhkan, merubah, memperbaiki sifat-sifat diyu, raksasa, angkara, durjana.
Maka Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu maknanya adalah ilmu rahasia keselamatan untuk meruwat
sifat-sifat angkara didunia ini, baik dunia mikro dan makro.
Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu adalah
merupakan Ilmu yang berasal dari Allah Yang Maha Esa, yang dapat menyelamatkan
segala sesuatu. Maka, tiada kawruh/pengetahuan lain lagi yang dapat
digapai oleh manusia, yang lebih dalam dan lebih luas melebihi Sastra Jendra
Hayuningrat Pangruwating Diyu, sebab ini adalah merupakan sastra adi luhung
atau ilmu luhur yang merupakan ujung akhir dari segala pengetahuan/kawruh
kasampurnan sampai saat ini.
Makna/kawruh Yang Terkandung Dalam
Sandi Sastra
Kalau diurut dari atas kebawah, dari
Ha sampai Nga, mengandung makna yang sangat dalam dan sangat luas tentang
rahasia gumelaring dumadi, atau pambabaring titah, atau rahasia jati diri,
asal-usul/ terjadinya manusia. Yaitu terciptanya manusia dari Nur, Cahaya
Allah yang bersifat tiga, Tri Tunggal Maha Suci, yang merasuk busana
anasir-anasir sebagai wadah, yaitu badan jasmani halusan dan badan jasmani
kasar.
Apabila diurut terbalik, dari Nga
naik sampai Ha, maka inilah “rahasia” jalan rahayu, ya pangruwating diyu, untuk
menuju kesempurnaan hidup kembali kepada sangkan paraning dumadi. Kembali ke
asal mula, ke Alam Sejati mencapai persatuan dengan Allah Yang Maha Agung.
Jadi, dari Nga sampai Ha, juga merupakan urut-urutan panembah, dimulai dari
badan jasmani kasar, dimana titik berat kesadaran kemudian harus dialihkan satu
tahap demi tahap kearah asal-mula, ke Alam Sejati. Syarat mutlak agar
kita dapat menyadari/ memahami sesuatu hal, adalah membawa kesadaran kita
bergerak masuk berada disitu. Fokus/titik berat kesadaran dapat
berpindah. Didalam keseharian hidup, kesadaran kita banyak terfokus
dialam badan kasar, alam anasir, diluar Alam Sejati. Maka, satu-persatu
tahap dari Nga, Tha, Ba dan seterusnya sampai Nga haruslah dilewati untuk
memindahkan tingkat kesadaran dari alam kasar/fana/maya menuju Alam Sejati.
Sedangkan tahapan pertama yang harus dilalui yaitu Nga, sedemikian rumit dan
sulitnya, maka dapat dibayangkan tidak begitu mudah untuk dapat memindahkan
titik berat/focus kesadaran ke Alam Sejati. Namun itulah intinya
perjalanan spiritual yang harus kita tempuh.
Secara “garis besar”, Ha Na Ca Ra Ka
Da Ta Sa Wa La Pa Dha Ja Ya Nya Ma Ga Ba Tha Nga kalau diuraikan adalah sebagai
berikut (garis besar saja, karena detailnya begitu luas/multi dimensi tak
terkira penuh dengan kawruh kasunyatan sejati yang tak habis diuraikan dalam
bahasa kewadagan apalagi tulisan). Dan dibawah ini adalah garis besar
uraian dari sisi spiritualnya guna dipakai sebagai “mile stones” dalam menempuh
jalan rahayu untuk dapat kembali ke ” SANGKAN PARANING DUMADI “.
1. Ha – Huripku Cahyaning Allah
(Hidupku adalah Cahaya Allah).
Sebelum ada apa-apa, sebelum alam
semesta beserta isinya ini tercipta, adalah Sang Hidup ya Allah ya Ingsun yang
ada dialam awung-uwung yang tiada awal dan akhir, yaitu alam/kahanan Allah yang
masih rahasia/ Alam Sejati. Itulah Kerajaan Allah ya Ingsun. Sebelum alam
semesta tercipta, Allah berkehendak menurunkan Roh Suci, ya Cahaya Allah.
Ya Cahaya Allah itulah Hidupku, Hidup kita yang Maha Suci.
Alam Sejati adalah alam yang tidak
mengandung anasir-anasir (unsur-unsur hawa, api, air dan bumi/tanah) yang
berada didalam badan manusia, dimana Cahaya Allah bersemayam. Alam Sejati
diselubungi/menyelubungi dua alam beranasir yaitu halus dan kasar. Dapat pula
diartikan, badan manusia berada didalam Alam Sejati.
2. Na – Nur Hurip Cahya wewayangan
(Nur Hidup Cahya yang membayang).
Hidup merupakan kandang Nur yang
memancarkan Cahaya Kehidupan yang membayang yang merupakan rahasia Allah.
Kehidupan yang Maha Mulia. Tri Tunggal Mahasuci berada dipusat Hidup. Ya
itulah Kerajaan Allah.
Sang Tritunggal adalah Allah
ta’ala/Gusti Allah/Pengeran/Suksma Kawekas, Ingsun/Rasul Sejati/Guru
Sejati/Suksma Sejati/Kristus dan Roh Suci/Nur Pepanjer/Nur Muhammad.
Diuraikan diatas, bahwa ketiga alam yaitu badan kasar, badan halus dan Alam
Sejati, mengambil ruang didalam badan jasmani kasar secara bersamaan.
Namun kebanyakan kita manusia tidak atau belum menyadari akan Alam Sejati, atau
samar-samar. Nur Hidup bagaikan cahaya yang samar membayang.
3. Ca – Cipta rasa karsa kwasa (Cipta
rasa karsa kuasa).
Nur Hidup memberi daya kepada
Rasa/Rahsa Jati/Sir, artinya Cahaya/Nur/Roh Suci menghidupkan Rasa/Rahsa
Jati/Sir yang merupakan sumber kuasa. Maka bersifat Maha Wisesa.
Rasa/Rahsa Jati/Sir menghidupkan roh/suksma yang mewujudkan adanya cipta. Maka
bersifat Maha Kuasa.
4. Ra – Rasa kwasa tetunggaling
pangreh (Rasa kuasa akan adanya satu-satunya wujud kendali/yang memerintah).
Rasa Sejati yang memberi daya hidup
roh/suksma sehingga roh/suksma dapat menguasai nafsu (sedulur lima), sehingga
terjadilah sifat Maha Tinggi.
5. Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa
lan niat (Karsa kuasa tanpa didasari oleh kehendak dan niat).
Yang mendasari adanya kuasa agung
adalah kasih yang tulus, tanpa kehendak, tanpa niat. Pamrihnya hanyalah
terciptanya kasih yang berkuasa memayu hayuning jagad kecil dan jagad agung.
6. Da – Dumadi kang kinarti
(Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna).
Ini berkaitan dengan Karsa Allah
menciptakan manusia, makhluk lain dan alam semesta beserta isinya yang sesuai
dengan Rencana Allah.
7. Ta – Tetep jumeneng ing dat kang
tanpa niat (Tetap berada dalam zat yang tanpa niat).
Dat atau zat tanpa bertempat
tinggal, yang merupakan awal mula adalah dat Yang Maha Suci yang bersifat esa,
langgeng dan eneng. Hidup sejati kita menyatu dengan dat, ada didalam
dat. Maka didalam kehidupan saat ini agar selalu eksis selaras dengan dat
Yang Maha Suci, situasi tanpa niat atau mati sajroning urip (mati didalam
hidup) dengan kata lain hidup didalam kematian, seyogyanya selalu diupayakan.
8. Sa – Sipat hana kang tanpa wiwit
(Sifat ada tanpa awal).
Ini adalah sifat Sang Hidup, Allah,
di Alam Sejati, tiada awal dan tiada akhir, “AKUlah alpha dan omega”.
Demikian pula “hidup” sejati nya manusia sudah ada sebelumnya, tiada awal mula,
bersatu di Alam Sejati yang langgeng, yang merupakan Kerajaan Allah, ya Sangkan
Paraning Dumadi.
9. Wa – Wujud hana tan kena kinira
(Wujud ada tiada dapat diuraikan/dijelaskan).
Ada nya wujud namun tiada dapat
diuraikan dan dijelaskan. Ini adalah menerangkan keadaan Allah, yang sangat
serba samar, tiada rupa, tiada bersuara, bukan lelaki bukan perempuan bukan
waria, tiada terlihat, tiada bertempat, dijamah disentuh tiada dapat.
Sebelum adanya dunia dan akherat, yang ada adalah Hidup Kita.
10. La – Lali eling wewatesane (Lupa
dan Ingat adalah batasannya).
Untuk dapat selalu berada didalam
jalan hayu/rahayu maka haruslah selalu eling/ingat akan sangkan paraning dumadi
dan eling/ingat akan Yang Menitahkan/ Sumber Hidup. Selalu ingat akan tata
laku setiap tindak tanduk yang dijalankannya agar selaras dengan Karsa
Allah. Lali/lupa akan menjauhkan dari sangkan paraning dumadi dan
menjerumuskan kealam kegelapan. Contoh lupa adalah bagaikan Begawan Wisrawa
dalam menguraikan Sastra Jendra Hayuningrat kepada Dewi Sukesi. Tak tahan
akan goda/ tak kuasa ngracut, mengendalikan nafsu-nafsu keempat saudara, maka
sang Begawan kesengsem birahi kepada Dewi Sukesi yang harusnya menjadi
menantunya.
11. Pa – Papan kang tanpa kiblat
(Papan tak berkiblat).
Ini adalah menerangkan Alam Sejati,
ya Kerajaan Allah yang tiada dapat diterangkan bagaimana dan dimana
orientasinya, bagaikan papan yang tiada utara-selatan-barat-timur-atas-bawah.
12. Dha – Dhuwur wekasane endhek
wiwitane (Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya).
Untuk memperoleh tingkatan luhuring
batin menjadi insan sempurna memang tidak dapat seketika, mesti diperoleh
setapak-setapak dari bawah. Demikian pula dalam hal ilmu kasampurnan, dalam
mencapai tataran ma’rifat tidaklah dapat langsung meloncat. Untuk bisa
mengetahui dan memahami makna Ha, maka haruslah dicapai dari Nga. Sebelum
mencapai sembah rasa, haruslah dilalui sembah raga dan sembah kalbu/ sembah
jiwa terlebih dahulu. Pertama, adalah panembah raga/ kawula terhadap Roh Suci, kedua,
adalah panembah Roh Suci kepada Guru Sejati, dan terakhir adalah panembah Guru
Sejati/ Ingsun kepada Allah Yang Maha Agung ya Suksma Kawekas.
13. Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti
(Bersatunya antara hamba dan Tuan nya).
Bersatunya titah dan Yang
Menitahkannya. Untuk mencapainya maka kesempurnaan hiduplah yang diupaya yaitu
sesuai apa yang dimaksud dalam sahadat. Maka semasa hidup di
mayapada/dunia, bersatunya/ sinkronisasi Roh Sejati, Ingsun yang jumeneng
pribadi dan busana-busana haruslah terjaga. Bagaikan keris manjing dalam
wrangkanya dan wrangka manjing didalam keris. Untuk dapat mencapai kesatuan
antara kawula dan Gusti maka tuntunan seorang guru yaitu Guru Sejati menjadi
dominan. Untuk memperoleh nya maka tidaklah mudah, haruslah dengan disiplin
keras bagaikan kerasnya usaha seorang Bima menemukan Dewa Ruci, yaitu wujud
Bima dalam ujud yang kecil (manusia telah menemukan AKU nya sendiri) dalam
mencari tirta pawitra.
14. Ya – Yen rumangsa tanpa karsa
(Kalau merasa tanpa kehendak).
Hanya dengan rila/rela, narima,
sumarah/pasrah kepada Allah tanpa pamrih lain-lain, namun dorongan karena kasih
sajalah yang akhirnya dapat menjadi perekat yang kuat antara asal dan tujuan,
sini dan sana.
15. Ny - Nyata tanpa mata
ngerti tanpa diwuruki (Melihat tanpa dengan mata, mengerti tanpa diajari).
Kalau anugerah Allah telah diterima,
maka dapat melihat hal-hal yang kasat mata, karena mata batin telah “terbuka”.
Selain itu, kuasa-kuasa agung akan diberikan oleh Allah lewat Guru Sejatinya
sendiri ya Suksma Sejatinya, sehingga kegaiban-kegaiban yang merupakan misteri
kehidupan dapat dimengertinya dan diselaminya. Mendapatkan ilmu kasampurnan
dari dalam sanubarinya, tanpa melalui perantaraan otak/akal.
16. Ma – Mati bisa bali (Mati bisa
kembali).
Kasih Allah yang luar biasa selalu
memberikan ampunan kepada setiap manusia yang “mati” terjatuh dalam dosa dan
salah. Matinya raga atau badan wadag hanyalah matinya keempat anasir yang
tadinya tiada, kembali ketiada. Namun roh yang sifatnya kekal tiada pernah
mati, namun kembali ke Alam Sejati ya Kerajaan Allah yang tiada awal dan akhir.
Namun, apabila selama hidupnya di mayapada tidak sesuai dengan Karsa Allah,
melupakan Allah dan ajaran Guru Sejati, tiada dapat ngracut busana kamanungsan
nya untuk tindakan-tindakan budi luhur, maka tidaklah dapat langsung kembali ke
Alam Sejati, namun terperosok ke alam-alam yang tingkatannya lebih rendah
sesuai dengan bobot kesalahannya, atau dititahkan kembali, yang kesemua itu
untuk dapat memperbaiki kesalahan-kesalahannya.
17. Ga – Guru Sejati kang muruki
(Guru Sejati yang mengajari).
Sumber segala sesuatu adalah Allah
yang dipancarkan lewat Sang Guru Sejati/Ingsun/Rasul Sejati. Maka hanya
kepadaNya lah tuntunan harusnya diperoleh. Petunjuk Guru Sejati hanya
dapat didengar dan diterima apabila sudah dapat berhasil meracut busana
kamanungsan nya. Disinilah akan tercapai guruku ya AKU, muridKU ya
aku.
18. Ba – Bayu Sejati kang andalani
(Dengan bantuan Bayu Sejati).
Daya kekuatan sejati yang merupakan
bayangan daya kekuatan Allah lah yang mendorong “pencapaian” tingkat-tingkat
yang lebih tinggi atau maksud-maksud spirituil yang berarti.
19. Tha – Thukul saka niat
(Tumbuh/muncul dari niat).
Niat menuju kearah sangkan paraning
dumadi yang didasari kesucian, tanpa kehendak dan keinginan ataupun pamrih
keduniawian. Timbulnya niat suci karena dasarnya adalah cinta /kasih
Illahi.
20. Nga – Ngracut busananing
manungsa (Merajut/menjalin pakaian-pakaian ke-manusiaan-nya).
Busana kamanungsan adalah empat
anasir, yang dimanifestasikan dalam wujud-wujud sedulur empat, serta lima
sedulur lainnya. Kesembilan saudara tersebut harus dikuasai, diracut/dijalin
dengan memahami kelebihan dan kekurangannya, agar tercapai “iklim”
harmoni/balance dalam perjalanan manusia hidup di maya pada ini, yang pada
akhirnya tercapailah kesempurnaan hidup.
Prabu Sumali
Kini tiba saatnya Resi Wisrawa
memulai penjabaran apa arti ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu.
Namun sebelum wejangan berupa penjabaran makna ilmu sastra jendra hayuningrat
pangruwating diyu diajarkan kepada Dewi Sukesi, Resi Wisrawa memberikan sekilas
tentang ilmu itu kepada Sang Prabu Sumali. Resi Wisrawa berkata lembut, bahwa
seyogyanya tak usah terburu-buru, kehendak Sang Prabu Sumali pasti terlaksana.
Jika dengan sesungguhnya menghendaki keutamaan dan ingin mengetahui arti sastra
jendra. Ajaran Ilmu Sastra Jendra itu adalah, barang siapa yang menyadari dan
menaati benar makna yang terkandung di dalam ajaran itu akan dapat mengenal
watak (nafsu-nafsu) diri pribadi. Nafsu-nafsu ini selanjutnya dipupuk,
dikembangkan dengan sungguh-sungguh secara jujur, di bawah pimpinan kesadaran
yang baik dan bersifat jujur. Dalam pada itu yang bersifat buruk jahat
dilenyapkan dan yang bersifat baik diperkembangkan sejauh mungkin. Kesemuanya
di bawah pimpinan kebijaksanaan yang bersifat luhur.
Terperangah Prabu Sumali tatkala
mendengar uraian Resi Wisrawa. Mendengar penjelasan singkat itu Prabu Sumali
hatinya mmenjadi sangat terpengaruh, tertegun dan dengan segera mempersilahkan
Resi Wisrawa masuk ke dalam sanggar. Wejangan dilakukan di dalam sanggar
pemujaan, berduaan tanpa ada makhluk lain kecuali Resi Wisrawa dengan Dewi
Sukesi. Karena Sastrajendra adalah rahasia alam semesta, yang tidak dibolehkan
diketahui sebarang makhluk, seisi dunia baik daratan, angkasa dan lautan. Ilmu
Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebuah ilmu sebagai kunci
orang dapat memahami isi indraloka pusat tubuh manusia yang berada di dalam
rongga dada yaitu pintu gerbang atau kunci rasa jati, yang dalam hal ini
bernilai sama dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang bersifat gaib. Maka dari itu
ilmu Sastra Jendera Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah sebagai sarana pemunah
segala bahaya, yang di dalam hal ilmu sudah tiada lagi. Sebab segalanya sudah
tercakup dalam sastra utama, puncak dari segala macam ilmu. Raksasa serta
segala hewan seisi hutan, jika tahu artinya sastra jendra. Dewa akan
membebaskan dari segala petaka. Sempurna kematiannya, rohnya akan berkumpul
dengan roh manusia, manusia yang telah sempurna yang menguasal sastra jendra,
apabila ia mati, rohnya akan berkumpul dengan para dewa yang mulya.
Sastra Jendra disebut pula Sastra
Ceta. Suatu hal yang mengandung kebenaran, keluhuran, keagungan akan
kesempurnaan penilaian terhadap hal-hal yang belum nyata bagi manusia biasa.
Karena itu Ilmu Sastra Jendra disebut pula sebagai ilmu atau pengetahuan
tentang rahasia seluruh semesta alam beserta perkembangannya. Jadi tugasnya,
Ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu ialah jalan atau cara untuk mencapai
kesempurnaan hidup.
Untuk mencapai tingkat hidup yang
demikian itu, manusia harus menempuh berbagai persyaratan atau jalan dalam hal
ini berarti sukma dan roh yang manunggal, antara lain dengan cara-cara seperti:
Mutih : makan nasi tanpa lauk pauk
yang berupa apapun juga.
Sirik : menjauhkan diri dari segala
macam keduniawian.
Ngebleng : menghindari segala
makanan atau minuman yang tak bergaram.
Patigeni : tidak makan atau minum
apa-apa sama sekali.
Selanjutnya melakukan samadi, sambil
mengurangi makan, minum, tidur dan lain sebagainya. Pada samadi itulah pada
galibnya orang akan mendapalkan ilham atau wisik. Ada tujuh tahapan atau
tingkat yang harus dilakukan apabila ingin mencapai tataran hidup yang
sempurna, yaitu :
Tapaning jasad, yang berarti
mengendalikan/menghentikan daya gerak tubuh atau kegiatannya. Janganlah
hendaknya merasa sakit hati atau menaruh balas dendam, apalagi terkena sebagai
sasaran karena perbuatan orang lain, atau akibat suatu peristiwa yang
menyangkut pada dirinya. Sedapat-dapatnya hal tersebut diterima saja dengan
kesungguhan hati.
Tapaning budi, yang berarti
mengelakkan/mengingkari perbuatan yang terhina dan segala hal yang bersifat
tidak jujur.
Tapaning hawa nafsu, yang berarti
mengendalikan/melontarkan jauh-jauh hawa nafsu atau sifat angkara murka dari
diri pribadi. Hendaknya selalu bersikap sabar dan suci, murah hati, berperasaan
dalam, suka memberi maaf kepada siapa pun, juga taat kepada Tuhan Yang Maha
Esa. Memperhatikan perasaan secara sungguh-sungguh, dan berusaha sekuat tenaga
kearah ketenangan (heneng), yang berarti tidak dapat diombang-ambingkan oleh
siapa atau apapun juga, serta kewaspadaan (hening).
Tapaning sukma, yang berarti memenangkan jiwanya.
Hendaknya kedermawanannya diperluas. Pemberian sesuatu kepada siapapun juga
harus berdasarkan keikhlasan hati, seakan-akan sebagai persembahan sedemikian,
sehingga tidak mengakibatkan sesuatu kerugian yang berupa apapun juga pada
pihak yang manapun juga. Pendek kata tanpa menyinggung perasaan.
Tapaning cahya, yang berarti hendaknya orang
selalu awas dan waspada serta mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat.
Jangan sampai kabur atau mabuk karena keadaan cemerlang yang dapat
mengakibatkan penglihatan yang serba samar dan saru. Lagi pula kegiatannya
hendaknya selalu ditujukan kepada kebahagiaan dan keselamatan umum.
Tapaning gesang, yang berarti berusaha berjuang
sekuat tenaga secara berhati-hati, kearah kesempurnaari hidup, serta taat
kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mengingat jalan atau cara itu berkedudukan pada tingkat
hidup tertinggi, maka ilmu Sastra Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu itu
dinamakan pula “Benih seluruh semesta alam.”
Jadi semakin jelas bahwa Sastra
Jendra Hayuningrat Pangruwating Diyu hanya sebagai kunci untuk dapat memahami
isi Rasa Jati, dimana untuk mencapai sesuatu yang luhur diperlukan mutlak
perbuatan yang sesuai. Rasajati memperlambangkan jiwa atau badan halus ataupun
nafsu sifat tiap manusia, yaitu keinginan, kecenderungan, dorongan hati yang
kuat, kearah yang baik maupun yang buruk atau jahat. Nafsu sifat itu ialah;
Lumamah (angkara murka), Amarah, Supiyah (nafsu birahi). Ketiga sifat tersebut
melambangkan hal-hal yang menyebabkan tidak teraturnya atau kacau balaunya
sesuatu masyarakat dalam berbagai bidang, antara lain: kesengsaraan, malapetaka,
kemiskinan dan lain sebagainya. Sedangkan sifat terakhir yaitu Mutmainah (nafsu
yang baik, dalam arti kata berbaik hati, berbaik bahasa, jujur dan lain
sebagainya) yang selalu menghalang-halangi tindakan yang tidak senonoh.
Resi Wisrawa
Saat wejangan tersebut dimulai, para
dewata di kahyangan marah terhadap Resi Wisrawa yang berani mengungkapkan ilmu
rahasia alam semesta yang merupakan ilmu monopoli para dewa. Para Dewa sangat
berkepentingan untuk tidak membeberkan ilmu itu ke manusia. Karena apabila hal
itu terjadi, apalagi jika pada akhirnya manusia melaksanakannya, maka
sempurnalah kehidupan manusia. Semua umat di dunia akan menjadi makhluk
sempurna di mata Penciptanya.Dewata tidak dapat membiarkan hal itu terjadi.
Maka digoncangkan seluruh penjuru bumi. Bumi terasa mendidih. Alam
terguncang-guncang. Prahara besar melanda seisi alam. Apapun mereka lakukan
agar ilmu kesempurnaan itu tidak dapat di jalankan.
Semakin lama ajaran itu semakin
meresap di tubuh Sukesi. Untuk tidak terungkap di alam manusia, maka Bhatara
Guru langsung turun tangan dan berusaha agar hasil dari ilmu tersebut tetap
menjadi rahasia para dewa. Karenanya ilmu tersebut harus tetap tetap patuh
berada di dalam rahasia dewa. Oleh niat tersebut maka Bhatara Guru turun ke
bumi masuk ke dalam badan Dewi Sukesi. Dibuatnya Dewi Sukesi tergoda dengan
Resi Wisrawa. Dalam waktu cepat Dewi Sukesi mulai tergoda untuk mendekati
Wisrawa. Namun Wisrawa yang terus menguraiakn ilmu itu tetap tidak berhenti.
Bahkan kekuatan dari uraian itu menyebabkan Sang Bathara Guru terpental keluar
dari raga Dewi Sukesi. Tetapi Bathara Guru tidak menyerah begitu saja.
Dipanggilnya permaisurinya yaitu Dewi Uma turun ke dunia. Bhatara Guru masuk
menyatu raga dalam tubuh Resi Wisrawa sedang Dewi Uma masuk ke dalam tubuh Dewi
Sukesi.
Tepat pada waktu ilmu itu hendak
selesai diwejangkan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi, datanglah suatu
percobaan atau ujian hidup. Sang Bhatara Guru yang menyelundup ke dalam tubuh
Bagawan Wisrawa dan Bhatari Uma yang ada di dalam tubuh Dewi Sukesi memulai
gangguannya terhadap keduanya. Godaan yang demikian dahsyat datang menghampiri
kedua insan itu. Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi yang menerima pengejawantahan
Bhatara Guru dan Dewi Uma secara berturut-turut terserang api asmara dan
keduanya dirangsang oleh nafsu birahi. Dan rangsangan itu semakin lama semakin
tinggi.
Tembuslah tembok pertahanan Wisrawa
dan Sukesi. Dan terjadilah hubungan yang nantinya akan membuahkan kandungan.
Begawan Wisrawa lupa, bahwa ia pada hakekatnya hanya berfungsi sebagai wakil
anaknya belaka. Dan akibat dari godaan tersebut, sebelum wejangan Sastra Jendra
selesai, keburu hubungan antara Resi Wisrawa dengan Dewi Sukesi terjadi,
kenyataan mengatakan mereka sudah merupakan suami-istri.
Seusai gangguan itu Bathara Guru dan
Dewi Uma segera meninggalkan dua manusia yang telah langsung menjadi suami
istri. Sadar akan segala perbuatannya, mereka berdua menangis menyesali yang
telah terjadi. Namun segalanya telah terjadi. Sastra Jendra Hayuningrat
Pangruwating Diyu gagal diselesaikan. Dan hasil dari segala uraian yang gagal
diselesaikan itu adalah sebuah noda, aib dan cela yang akan menjadi malapetaka
besar dunia dikemudian hari.
Tetapi apapun hasilnya harus
dilalui. Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi membeberkan semuanya apa adanya kepada
sang ayah Prabu Sumali. Dengan arif Prabu Sumali menerima kenyataan yang sudah
terjadi. Dan Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi resmi sebagai suami istri, dan
seluruh sayembara ditutup.
Lahirnya Rahwana
Berbulan-bulan di Lokapala Danaraja
menunggu datangnya sang ayah yang diharapkan membawa kabar bahagia. Ia telah
mendengar kabar bahwa sayembara Dewi Sukesi telah berhasil dimenangkan oleh
Resi Wisrawa. Sampai suatu saat Wisrawa dan Sukesi sampai Lokapala.Dengan
sukacita Danaraja menyambut keduanya. Namun Wisrawa datang dengan wajah yang
kuyu dan kecantikan sang dewi yang diagung-agungkan banyak orang itu tampak
pudar. Danaraja, merasa mendapatkan suasana yang tidak nyaman, kemudian
bertanya pada ayahnya. Di depan istri dan putranya, Wisrawa menceritakan semua
kejadian yang dialaminya dan secara terus terang mengakui segala dosa dan
kesalahannya. Namun kesalahan tersebut merupakan kesalahan yang amat teramat
fatal dimata Danaraja. Mendengar penuturan ayahnya, Prabu Danaraja menjadi sangat
kecewa dan marah besar. Danaraja tidak dapat mempercayai bahwa ayahnya tega
mencederai hati putra kandungnya sendiri. Kemarahan itu sudah tak terbendung.
Danaraja lalu mengusir kedua suami-istri tersebut keluar dari negara Lokapala.
Akhirnya dengan penuh duka, sepasang suami istri itu kembali ke negara Alengka.
Dalam perjalanan kembali menuju
Alengka, Dewi Sukesi yang sudah mulai hamil itu tidak dapat berbuat banyak.
Tubuhnya yang mulai kehilangan tenaga tampak kuyu dan pucat. Setelah
berbulan-bulan perjalanan yang melelahkan, tiba saat melahirkan. Di tengah
hutan belantara padat, Dewi Sukesi tak kuasa lagi menahan lahirnya sang bayi.
Akhirnya lahirlah jabang bayi itu dalam bentuk gumpalan daging, darah dan kuku.
Dewi Sukesi terkejut juga Resi Wisrawa. Gumpalan itu bergerak keluar dari rahim
sang ibu menuju kedalam hutan. Kesalahan fatal dari dua orang manusia
menyebabkan takdir yang demikian buruk terjadi. Gumpalan darah itu bergerak dan
akhirnya menjelma menjadi seorang putra bayi berupa raksasa, seorang bayi
laki-laki raksasa sebesar bukit dan satu orang bayi perempuan yang ujud
tubuhnya ibarat bidadari, tetapi wajahnya berupa raksasa perempuan.
Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi hanya
dapat berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Sang Penguasa Alam. Ketiga bayi
itu lahir ditengah hutan diiringi lolongan serigala dan raungan anjing liar.
Auman harimau dan kerasnya teriakan burung gagak. Suasana yang demikian
mencekam mengiringi kelahiran ketiga bayi yang diberi nama Rahwana, Sarpakenaka
dan Kumbakarna. Dengan kepasrahan yang mendalam, Wisrawa dan Sukesi membawa
ketiga anak-anaknya ke Alengka. Tiba di Alengka, Prabu Sumali menyambut mereka
dengan duka yang sangat dalam. Kesedihan itu membuat Sang Prabu raksasa yang
baik hati ini menerima mereka dengan segala keadaan yang ada. Di Alengka
Wisrawa dan Sukesi membesarkan ketiga putra-putri mereka dengan setulus hati.
Rahwana dan Sarpakenaka tumbuh
menjadi raksasa dan raksesi beringas, penuh nafsu jahat dan angkara. Rahwana
tampak semakin perkasa dan menonjol diantara kedua adik-adiknya. Kelakuannya
kasar dan biadab. Demikian juga dengan Sarpakenaka yang makin hari semakin
menjelma menjadi raksasa wanita yang selalu mengumbar hawa nafsu. Sarpakenaka
selalu mencari pria siapa saja dalam bentuk apa saja untuk dijadikan pemuas
nafsunya. Sebaliknya Kumbakarna tumbuh menjadi raksasa yang sangat besar, tiga
sampai empat kali lipat dari tubuh raksasa lainnya. Ia juga memiliki sifat dan
pribadi yang luhur. Walau berujud raksasa, tak sedikitpun tercermin sifat dan
watak raksasa yang serakah, kasar dan suka mengumbar nafsunya, pada diri
Kumbakarna
Namun perasaan gundah dan sedih
menggelayut di relung hati Resi Wisrawa dan Dewi Sukesi. Ketiga putranya lahir
dalam wujud raksasa dan raksesi. Kini Dewi Sukesi mulai mengandung putranya
yang keempat. Akankah putranya ini juga akan lahir dalam wujud rasaksa atau
raseksi? Dosa apakah yang telah mereka lakukan? Ataukah akibat dari gejolak
nafsu yang tak terkendali sebagai akibat penjabaran Ilmu Sastrajendra
Hayuningrat yang telah dilakukan oleh Resi Wisrawa kepada Dewi Sukesi?
Sadar akan kesalahannya yang selama
ini terkungkung oleh nafsu kepuasan, Resi Wisrawa mengajak Dewi Sukesi,
istrinya untuk bersemadi, memohon pengampunan kepada Sang Maha Pencipta, serta
memohon agar dianugerahi seorang putra yang tampan, setampan
Wisrawana/Danaraja, putra Resi Wisrawa dengan Dewi Lokawati, yang kini
menduduki tahta kerajaan Lokapala. Sebagai seorang brahmana yang ilmunya telah
mencapai tingkat kesempurnaan, Resi Wisrawa mencoba membimbing Dewi Sukesi
untuk melakukan semadi dengan benar agar doa pemujaannya diterima oleh Dewata
Agung. Berkat ketekunan dan kekhusukkannya bersamadi, doa permohonan Resi
Wisrawa dan Dewi Sukesi diterima oleh Dewata Agung. Setelah bermusyawarah
dengan para dewa, Bhatara Guru kemudian meminta kesediaan Resi Wisnu Anjali,
sahabat karib Bhatara Wisnu, untuk turun ke marcapada menitis pada jabang bayi
dalam kandungan Dewi Sukesi.
Dengan menitisnya Resi Wisnu Anjali,
maka lahirlah dari kandungan Dewi Sukesi seorang bayi lelaki yang berwajah
sangat tampan. Dari dahinya memancar cahaya keputihan dan sinar matanya sangat
jernih. Sebagai seorang brahmana yang sudah mencapai tatanan kesempurnaan, Resi
Wisrawa dapat membaca tanda-tanda tersebut, bahwa putra bungsunya itu kelak
akan menjadi seorang satria yang cendekiawan serta berwatak arif bijaksana. la
kelak akan menjadi seorang satria yang berwatak brahmana. Karena tanda-tanda
tersebut, Resi Wisrawa memberi nama putra bungsunya itu, Gunawan Wibisana.
Karena wajahnya yang tampan dan budi
pekertinya yang baik, Wibisana menjadi anak kesayangan Resi Wisrawa dan Dewi
Sukesi. Dengan ketiga saudaranya, hubungan yang sangat dekat hanyalah dengan
Kumbakarna. Hal ini karena walaupun berwujud raksasa, Kumbakarna memiliki watak
dan budi yang luhur, yang selalu berusaha mencari kesempurnaan hidup.
Nun jauh di negara Lokapala, Prabu
Danaraja masih memendam rasa kemarahan dan dendam yang sangat mendalam kepada
ayahnya. Hingga detik ini dia masih tidak dapat menerima perlakuan ayahnya yang
dianggapnya mengkhianati dharma bhaktinya sebagai anak. Sang Resi Wisrawa
sebagai ayah dianggapnya telah menyelewengkan bhakti seorang anak yang telah
dengan tulus murni dari dalam bathin yang paling dalam memberikan cinta dan
kehormatan pada ayah kandung junjungannya.
Rasa ini benar-benar tak dapat ia
tahan hingga suatu saat Prabu Danaraja mengambil sikap yang sudah tidak bisa
ditawar lagi. Prabu Danaraja lalu mengerahkan seluruh bala tentara Lokapala dan
memimpinnya sendiri untuk menyerang Alengka dan membunuh ayahnya sendiri yang
sudah tidak memiliki kehormatan lagi dimatanya. Alengka dan Lokapala bentrok
dan terjadi pertumpahan darah. Pertumpahan darah yang ditujukan hanya untuk
dendam seorang anak pada ayahnya.
Resi Wisrawa tidak dapat diam melihat
semua ini. Ribuan nyawa prajurit telah hilang demi seorang Brahmana tua yang
telah penuh dengan dosa. Wisrawa segera turun ke tengah pertempuran dan
menghentikan semuanya. Kini ia berhadap-hadapan dengan Danaraja, anaknya
sendiri. Dengan mata penuh dendam, Danaraja mengibaskan pedang senjatanya ke
badan Wisrawa. Darah mengucur deras, Wisrawa roboh di tengah-tengah para
prajurit kedua negara. Melihat Resi Wisrawa tewas dalam peperangan melawan
Prabu Danaraja, Dewi Sukesi berniat untuk membalas dendam kematian suaminya.
Rahwana yang ingin menuntut balas atas kematian ayahnya, dicegah oleh Dewi
Sukesi. Kepada keempat putranya diyakinkan, bahwa mereka tidak akan mampu
mengalahkan Prabu Danaraja yang memiliki ilmu sakti Rawarontek. Untuk dapat
mengalahkan dan membunuh Prabu Danaraja. Mereka harus pergi bertapa, mohon
anugrah Dewata agar diberi kesaktian yang melebihi Prabu Danaraja, yang
sesungguhnya masih saudara satu ayah mereka sendiri, sebagai bekal menuntut
balas atas kematian ayah mereka. Berangkatlah mereka melaksanakan perintah
ibunya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar